--------------------------
" Alam dan Adat Bicara "
Ketiga korban luka tersebut yakni Sukarlan (70), Taslimah (60), dan Yulianto (30) beralamat di Kampung Kalialang Baru RT 03 RW 07 Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Semarang.
Saat ditemui di salah satu ruang perawatan Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang, Yulianto mengatakan peristiwa tersebut berawal saat dirinya mengganti tabung elpiji yang berada di dapur sekitar pukul 09.30 WIB.
"Saat memasang selang regulator pada tabung elpiji ternyata gas mengalami kebocoran yang diketahui dengan adanya bau yang menyengat,"
katanya, Minggu (17/10/2010).
Yulianto bersama kedua orang tuanya yang dalam keadaan panik kemudian membawa tabung elpiji yang bocor tersebut keluar dapur sambil menutup dengan kain basah.
Baru berjalan beberapa meter dari dapur, tiba-tiba terjadi ledakan dengan suara cukup keras yang mengakibatkan satu keluarga tersebut menderita luka pada beberapa bagian tubuh.
"Saya tidak tahu asal api yang menyebabkan ledakan itu," ujarnya yang ditunggui salah seorang kerabatnya tersebut.
Sejumlah warga sekitar yang mendengar suara ledakan dan teriakan minta tolong korban langsung mendatangi lokasi kejadian serta langsung memadamkan api yang membakar sebagian dapur sehingga tidak menyebabkan kebakaran yang lebih besar.
Selain mengakibatkan terbakarnya sebagian dapur dan tiga orang menderita luka bakar cukup serius hingga harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, ledakan tabung elpiji yang diduga bocor ini juga mengakibatkan atap tempat mencuci berlubang.
Yulianto menderita luka bakar pada bagian wajah, kedua tangan dan kaki, Taslimah luka pada kedua kaki dan sebagian tangan, sedangkan Sukarlan luka pada kedua kakinya.
Petugas Kepolisian Sektor Gunungpati dan Kepolisian Resor Kota Besar Semarang yang menerima laporan warga segera mendatangi lokasi kejadian dan melakukan penyelidikan.
Penyelidikan dilakukan dengan meminta keterangan sejumlah saksi dan korban serta memeriksa tabung elpiji yang meledak.
Dari hasil penyelidikan sementara, api diduga berasal dari aliran listrik karena pada saat kejadian lampu listrik di dapur sedang menyala, sedangkan gas elpiji sudah memenuhi bagian dapur.
Selain itu, dari penyelidikan sementara juga diketahui bahwa gas elpiji yang keluar karena katup tabung elpiji tertekan ke dalam dan tidak bisa kembali ke posisi semula.
Hingga saat ini, garis polisi telah terlihat dipasang polisi di tempat kejadian perkara dengan tujuan untuk mengamankan lokasi guna penyelidikan lebih lanjut.
JAKARTA, KOMPAS.com — Banjir di Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, semakin meluas. Air merendam kampus Akademi Pariwisata Indonesia (Akpindo) pada Jumat (15/10/2010) mulai pukul 05.00 WIB di saat tidak terjadi hujan di sekitar kampus. Diperkirakan, banjir akan surut pada sore nanti.
Banjir di dalam kampus Akpindo mencapai pintu gerbang kampus dengan ketinggian lutut orang dewasa. Air diduga masuk lewat saluran pembuangan air dari kampus ke empang yang letaknya di luar kampus, RW 4 Kelurahan Cipinang Melayu.
"Sebenarnya saluran pembuangannya berfungsi bila banjir di permukiman warga tidak parah. Tapi, karena ketinggian air lebih dari 1,5 meter, salurannya jadi tak berfungsi dan air tidak bisa ke luar kampus," kata Supriyanto, dosen Akpindo.
Selain dihentikannya aktivitas perkuliahan, banjir mengakibatkan adanya genangan air di laboratorium bartender, laboratorium tata graha, laboratorium food and beverages product, laboratorium pastry dan sekretariat STEIN (Sekolah Tinggi Ekonomi Internasional).
Pihak pengelola kampus terpaksa menghentikan aktivitas sehari-hari. "Aktivitas belajar mengajar diliburkan satu hari ini dulu. Kami akan lihat besok apakah banjir benar-benar surut atau tidak," ujar Bonifasius, dosen STEIN.
Ia mengatakan, sejumlah alat elektronik juga mengalami kerusakan, seperti CPU dan vacuum cleaner. "Syukurlah kami sudah memindahkan dokumen berharga ke lantai atas," katanya.
Sementara di sekitar lokasi, kemacetan terjadi di Jalan Raya Kalimalang pada kedua arahnya, mulai dari depan kampus Universitas Borobudur hingga gerbang komplek Perumahan Cipinang Indah. Antrean kendaraan ini karena banyak kendaraan bermotor yang memarkirkan kendaraan.
--------------------------
" Alam dan Adat Bicara "
Dalam pandangan Pemangku Alam & Adat Papua, apa yang terjadi di Tanah Papua haruslah dilihat dari Kacamata “Apa yang terjadi di Indonesia”, karena Hukum Alam dan Hukum Adat Papua sedang ditegakkan di Indonesia dalam rangka mencari ‘keseimbangan’ alamiah atas penderitaan bangsa Papua sejak NKRI menginvasi (1961,1962), menduduki (1948) dan menguasai (1963) West Papua.
Surat secara langsung dan terus terang sudah lama disampaikan, waktu itu KH Abdurrahman Wahid masih hidup. Beliau menderima dan menyatakan, “Turut merasakan penderitaan rakyat Papua,” dengan menambahkan, “Saya juga salah satu dari korban regime, dan saya kepala suku jadi saya tahu apa arti penegakkan hukum alam dan hukum adat, dan apa arti menderita karena dijajah.” Sri Sultan HB X di Istana Yogyakarta juga telah membacanya. Dan kami yakin sekali, sesungguhnya sang Sultan Jawa tahu apa maksudnya. Belakangan ini Sang Sultan sudah mengajukan isu “Referendum” untuk Yogyakarta, baliho serta slogan-slogan sudah bertebaran ditempelkan di berbagai tempat umum seperti Tugu, Jalan raya, toko dan kampus-kampus di Yogyakarta. Megawati Sukarnoputri juga sudah diberitahu, khususnya menyampaikan pesan khusus dari ayahnya sendiri, Alm. Ir Soekarno bahwa beliau tidak akan lolos menjadi Presiden NKRI, dan sudah terbukti.
Dalam pesan itu dengan jelas disampaikan, dan isi surat itu ada dalam situs ini, disampaikan dalam bahasa Melayu seperti yang dipakai NKRI. Pesannya jelas, “Hukum Adat dan Hukum Alam” harus ditegakkan, dan itu bukan kemauan manusia manapun, tetapi itu kemauan alam dan adat itu sendiri.
Kami tdak bertugas memerintahkan, atau mengarahkan. Fungsi kami hanyalah menginformasikan apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi.
Selang beberapa hari, Presiden NKRI, keluar ke Televisi dan menyatakan, “Jangan percaya kepada takhayul, percayalah kepada ilmu, sains, yang masuk akal.” Pertanyaannya,
Mana yang penting: Takhayul yang ada bukti dalam hidup ini, ataukah
Ilmu pengetahuan yang tidak ada buktinya dalam hidup ini, walaupun masuk akal?
Apa yang penting:
Masuk akalkah, atau
Tidak masuk akal tetapi faktual-realitas?
Alam kini bicara di Wasior, dan sekali lagi, itu bukan takhayul, orang menderita, rumah hanyut, kota lumpuh total, orang mati berserakan, penduduk mengungsi keluar dari tempat alam berpidato, ITU BUKAN TAKHAYUL, ITU FAKTA, ITU REALITAS, ITU DIANGGAP TAKHAYUL TETAPI NYATA.
Sejak manusia memasuki era positivisme-nya, maka modernisme dimuai, diboncengi oleh berbagai kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Justru karena boncengan itulah yang menyebabkan positivisme itu potensial dan marak direkayasa. Memang positivisme bukanlah sebatas memahami, mendalami dan menjelaskan apa yang ada, tetapi ia bertanggungjawab atas rekayasa (engineering) secara sosial, politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya, dan sebagainya. Justru karena boncengan itulah pembunuhan orang Papua atas nama nasionalisme Indonesia dianggap harus dan wajib. Para pembela HAM orang Papua justru dianggap separatis dan GPK/GPL/OPM/TPN….
Justru karena boncengan itu pula-lah SBY menyatakan ‘itu takhayul, jangan percaya takhayul.”
Perlu diingatkan, “Tulisan ini tidak ditulis mewakili manusia, sama sekali tidak. Ia mewakili Hukum Alam dan Hukum Adat Papua” Gunung Nabi di tempat peristiwa Wasior terjadi melaporkan,
“Hitung dulu, berapa orang Papua, dan berapa orang Indonesia di situ!! Kasih tahu dulu, kenapa orang Papua ada di situ! Kasih tahu dulu, apakah orang Papua punya pengalaman sejarah seperti ini? Kenapa orang di Provinisi buatan NKRI bernama Papua Barat itu paksa diri membentuk Majelis Rakyat Papua? Kenapa satu bangsa punya Dua Majelis? Bukankah majelis itu mewakili sebuah etnis-bangsa Papua-Melanesia? Kenapa orang Papua mau dua MRP di satu tanah, untuk satu bangsa?”
Ditambah lagi, “Mengapa orang di Provinsi Papua Barat itu sangat mencintai Indonesia? Apa alasannya? Apakah mereka itu moyang? Apa dasar cinta itu?”
Pada saat kami tanyakan,
“Apa yang harus kami lakukan?”
Jawabannya,
“Kasih tahu mereka, tetapi saya tahu mereka tidak akan mendengarnya. Biarkan mereka tidak mendengarnya, tanah ini bukan milik mereka, mereka hanya numpang lewat. Saya ada di sini dari dulu sampai sekarang, sampai selamanya, sampai kapanpun. Para penumpang yang sedang lewat ini, janganlah berbuat semaunya.”
Memang orang dalam sudah, kami sadar tidak pantas menyampaikan pesan keras ini, tetapi sekali lagi, kami tidak berbicara atas nama manusia. Manusia punya dunianya sendiri, punya gengsinya sendiri, punya ambisinya sendiri, punya politiknya sendiri, punya bisnisnya sendiri. Alam dan Adat tidak ada urusan dengan itu. Ia berbicara semuanya sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya.
[Bersambung]
--------------------------
" Alam dan Adat Bicara "
"Banjir seperti ini memang selalu terjadi setiap tahun karena permukaan Sungai Song hampir sejajar dengan daratan," kata seorang warga Desa Bolorejo lain, Kumhayati.
--------------------------
" Alam dan Adat Bicara "
VIVAnews - Joni Malela, 45, barangkali tak pernah menyangka sebelumnya, bahwa dirinya bakal menemui ajal di Hari Raya Idul Fitri. Alih-alih mendapat uang Rp100 ribu, pria tunanetra asal Garut ini malah merengang nyawa saat mengantre di Istana Negara untuk bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penyebab tewasnya Joni sebetulnya belum dapat dipastikan secara medis. Sebab, dokter hanya memeriksa bagian luar tubuhnya. Dokter forensik RSCM, Wibisana Widyatmaka menyebutkan, tidak ada luka akibat kekerasan. "Dari hasil pemeriksaan dari kepala hingga kaki, tidak ada tanda-tanda kekerasan," ungkapnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Namun, yang bisa dipastikan, berdasarkan keterangan Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih usai melihat kondisi jenazah, Joni tewas bukan karena terinjak atau akibat kekerasan. "Sudah dilakukan pemeriksaan luar dan tidak dijumpai ada tanda-tanda kekerasan atau diinjak-injak," kata Endang.
Dalam keterangan persnya, Endang menyatakan, tim forensik siap jika keluarga bersedia untuk melakukan otopsi. Namun, Euis Rusmiati, istri Joni yang juga tunanetra dan agak tuli ini tidak bersedia jasad suaminya diotopsi.
"Setelah tadi bertemu, beliau (Euis) meminta langsung dimakamkan saja. Beliau ikhlas, langsung dimakamkan saja," ucap Endang setelah berdialog dengan Euis di kamar jenazah RSCM.
Berawal dari acara open house yang diadakan Presiden SBY di Istana Negara, Joni dan ribuan warga lainnya mendatangi Istana Negara. Saking banyaknya warga yang antre, desak-desakan pun terjadi. Joni yang terkulai lemah akibat berdesakan, segera dipapah petugas untuk diberikan pertolongan. Namun tak berdaya, Joni pun pingsan dan akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir.
Ribuan warga berdesakan, mereka saling dorong masuk Istana Negara untuk bersalaman dengan Presiden SBY. Ribuan warga nampaknya khawatir, tak mendapat kesempatan bertemu Presiden SBY.
Nampaknya, bersalaman dengan Presiden bukan satu-satunya alasan warga rela antre lama-lama. Sebelumnya, beredar kabar bahwa akan ada pembagian uang sebesar Rp 300 ribu. "Katanya dapat Rp 300 ribu," kata Rina, seorang warga yang rela antre sebelum open house dibuka.
Hal yang sama juga dikatakan Ani, warga Tangerang. "Saya dapat kabar katanya dikasih Rp 300 ribu, makanya saya datang," ujar Ani.
Namun kabar pembagian uang dibantah pihak Istana. Juru bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha malah mempertanyakan kabar itu. "Keliru. Tidak ada pembagian duit. Itu kabar yang tidak bertanggung jawab. Dari mana ada kabar itu?" kata Julian yang menyesali informasi sesat itu.
Sebetulnya, kericuhan saat open house bukan kali ini saja terjadi. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pernah merasakan imbasnya mengadakan open house. Terlebih, acara silaturahmi itu disisipkan dengan pembagian sedekah, sembako atau apapun namanya.
Demi menghindari terulangnya kejadian serupa, gubernur DKI ini tidak mau ambil resiko. Dan menghentikan kegiatan open house disertai pembagian sedekah mulai tahun ini. "Tertutup untuk masyarakat umum," ujar Foke begitu sapaan Fauzi Bowo.
Dalam acara tahun lalu itu, Foke menyediakan 6000 paket sembako untuk warga kurang mampu di Jakarta. Gubernur juga menyiapkan angpao Rp 40 ribu untuk setiap warga. Hal itu jelas mengundang antusiasme warga. Tua, muda, laki-laki, perempuan, dan anak-anak pun menyemut di Balai Kota sejak pagi, hingga terjadilah kericuhan. VIVAnews