Kamis, 14 Oktober 2010

Banjir Putuskan 10 Km Jalan di Sintang


PONTIANAK, KOMPAS.com - Sekitar sepuluh kilometer jalan di Kabupaten Sintang, dari ibu kota kabupaten itu menuju Kecamatan Binjai Hilir putus karena terendam banjir hingga ketinggian satu meter, kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tri Budiarto.

"Sudah hampir sepekan jalan dari Kota Sintang menuju Desa Simba Kecamatan Binjar Hilir putus akibat terendam banjir dengan ketinggian bervariasi," kata Tri Budiarto ketika dihubungi di Sintang, Kamis (14/10/2010).

Menurut data BPBD Provinsi Kalbar, banjir juga merendam sekitar 80 persen rumah masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Kapuas dan Melawi dengan ketinggian mencapai 1,5 meter.

"Kami sejak beberapa hari terakhir terus memantau perkembangan bencana banjir di Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu dan Ketapang," kata Tri.

Menurut dia, pihaknya bersama Pemerintah Kabupaten yang terkena musibah banjir telah membentuk pos komando dan memberikan bantuan berupa kebutuhan pokok kepada masyarakat korban bencana.

Kepala BPBD Kalbar menyatakan, hingga saat ini, banjir telah merendam sawah seluas 2.000 hektare dan 8.000 unit rumah warga di Kabupaten Kapuas Hulu.

Selain itu, jembatan gantung yang hanyut terbawa air sebanyak lima unit, jembatan tidak gantung ada tiga unit dan rumah tiga unit. Banjir yang telah melanda Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu sejak Sabtu (9/10) terburuk sejak 30 tahun terakhir.

--------------------------
" Alam dan Adat Bicara "
READ MORE - Banjir Putuskan 10 Km Jalan di Sintang

Alam Terus Bersuara di Tanah Papua: Setelah Biak, Sentani, Nabire, kini Wasior


Siapa yang Bertelinga, Hendaklah Ia Mendengar, Demikian Kata Hukum Alam

Memang sangat berat mengungkapkan reaksi isihati atas apa yang sedang terjadi di Tanah Papua, khususnya sesaat Alam menegakkan Hukum dan kedaulatannya. Kini Alam bersuara kali di Wasior, sebuah Kabupaten baru di Provinsi Baru buatan NKRI. Daerah yang dulunya begitu penting bagi Sejarah Peradaban dan perkembangan agama modern di Tanah Papua itu telah dijadikan alasan untuk menancapkan kekuasaan di Tanah Papua, pertama dengan memisahkan wilayah Kepala Burung dari Provinsi Papua, dan memberinya nama Provinisi Irian Jaya Barat, lalu Papua Barat.

Dalam pandangan Pemangku Alam & Adat Papua, apa yang terjadi di Tanah Papua haruslah dilihat dari Kacamata “Apa yang terjadi di Indonesia”, karena Hukum Alam dan Hukum Adat Papua sedang ditegakkan di Indonesia dalam rangka mencari ‘keseimbangan’ alamiah atas penderitaan bangsa Papua sejak NKRI menginvasi (1961,1962), menduduki (1948) dan menguasai (1963) West Papua.

Surat secara langsung dan terus terang sudah lama disampaikan, waktu itu KH Abdurrahman Wahid masih hidup. Beliau menderima dan menyatakan, “Turut merasakan penderitaan rakyat Papua,” dengan menambahkan, “Saya juga salah satu dari korban regime, dan saya kepala suku jadi saya tahu apa arti penegakkan hukum alam dan hukum adat, dan apa arti menderita karena dijajah.” Sri Sultan HB X di Istana Yogyakarta juga telah membacanya. Dan kami yakin sekali, sesungguhnya sang Sultan Jawa tahu apa maksudnya. Belakangan ini Sang Sultan sudah mengajukan isu “Referendum” untuk Yogyakarta, baliho serta slogan-slogan sudah bertebaran ditempelkan di berbagai tempat umum seperti Tugu, Jalan raya, toko dan kampus-kampus di Yogyakarta. Megawati Sukarnoputri juga sudah diberitahu, khususnya menyampaikan pesan khusus dari ayahnya sendiri, Alm. Ir Soekarno bahwa beliau tidak akan lolos menjadi Presiden NKRI, dan sudah terbukti.

Dalam pesan itu dengan jelas disampaikan, dan isi surat itu ada dalam situs ini, disampaikan dalam bahasa Melayu seperti yang dipakai NKRI. Pesannya jelas, “Hukum Adat dan Hukum Alam” harus ditegakkan, dan itu bukan kemauan manusia manapun, tetapi itu kemauan alam dan adat itu sendiri.

Kami tdak bertugas memerintahkan, atau mengarahkan. Fungsi kami hanyalah menginformasikan apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi.

Selang beberapa hari, Presiden NKRI, keluar ke Televisi dan menyatakan, “Jangan percaya kepada takhayul, percayalah kepada ilmu, sains, yang masuk akal.” Pertanyaannya,

Mana yang penting: Takhayul yang ada bukti dalam hidup ini, ataukah
Ilmu pengetahuan yang tidak ada buktinya dalam hidup ini, walaupun masuk akal?
Apa yang penting:
Masuk akalkah, atau
Tidak masuk akal tetapi faktual-realitas?

Alam kini bicara di Wasior, dan sekali lagi, itu bukan takhayul, orang menderita, rumah hanyut, kota lumpuh total, orang mati berserakan, penduduk mengungsi keluar dari tempat alam berpidato, ITU BUKAN TAKHAYUL, ITU FAKTA, ITU REALITAS, ITU DIANGGAP TAKHAYUL TETAPI NYATA.

Sejak manusia memasuki era positivisme-nya, maka modernisme dimuai, diboncengi oleh berbagai kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Justru karena boncengan itulah yang menyebabkan positivisme itu potensial dan marak direkayasa. Memang positivisme bukanlah sebatas memahami, mendalami dan menjelaskan apa yang ada, tetapi ia bertanggungjawab atas rekayasa (engineering) secara sosial, politik, ekonomi, hukum, dan seterusnya, dan sebagainya. Justru karena boncengan itulah pembunuhan orang Papua atas nama nasionalisme Indonesia dianggap harus dan wajib. Para pembela HAM orang Papua justru dianggap separatis dan GPK/GPL/OPM/TPN….

Justru karena boncengan itu pula-lah SBY menyatakan ‘itu takhayul, jangan percaya takhayul.”

Perlu diingatkan, “Tulisan ini tidak ditulis mewakili manusia, sama sekali tidak. Ia mewakili Hukum Alam dan Hukum Adat Papua” Gunung Nabi di tempat peristiwa Wasior terjadi melaporkan,

“Hitung dulu, berapa orang Papua, dan berapa orang Indonesia di situ!! Kasih tahu dulu, kenapa orang Papua ada di situ! Kasih tahu dulu, apakah orang Papua punya pengalaman sejarah seperti ini? Kenapa orang di Provinisi buatan NKRI bernama Papua Barat itu paksa diri membentuk Majelis Rakyat Papua? Kenapa satu bangsa punya Dua Majelis? Bukankah majelis itu mewakili sebuah etnis-bangsa Papua-Melanesia? Kenapa orang Papua mau dua MRP di satu tanah, untuk satu bangsa?”

Ditambah lagi, “Mengapa orang di Provinsi Papua Barat itu sangat mencintai Indonesia? Apa alasannya? Apakah mereka itu moyang? Apa dasar cinta itu?”

Pada saat kami tanyakan,
“Apa yang harus kami lakukan?”

Jawabannya,

“Kasih tahu mereka, tetapi saya tahu mereka tidak akan mendengarnya. Biarkan mereka tidak mendengarnya, tanah ini bukan milik mereka, mereka hanya numpang lewat. Saya ada di sini dari dulu sampai sekarang, sampai selamanya, sampai kapanpun. Para penumpang yang sedang lewat ini, janganlah berbuat semaunya.”

Memang orang dalam sudah, kami sadar tidak pantas menyampaikan pesan keras ini, tetapi sekali lagi, kami tidak berbicara atas nama manusia. Manusia punya dunianya sendiri, punya gengsinya sendiri, punya ambisinya sendiri, punya politiknya sendiri, punya bisnisnya sendiri. Alam dan Adat tidak ada urusan dengan itu. Ia berbicara semuanya sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya.
[Bersambung]

--------------------------
" Alam dan Adat Bicara "

READ MORE - Alam Terus Bersuara di Tanah Papua: Setelah Biak, Sentani, Nabire, kini Wasior