Sabtu, 04 Februari 2012

Pesawat Tabrak Gunung di Papua


Aparat keamanan yang ada di lokasi kejadian mencoba mengevakuasi dan mencari korban.
VIVAnews - Kecelakaan peawat kembali terjadi di Papua. Pesawat milik maskapai Quality Air yang mengangkut BBM tergelincir dan menabrak gunung, di Lapangan terbang Bilai, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu, 4 Februari 2012 sekitar pukul 09.45 WIT.
"Pesawat tergelincir pada saat cuaca berkabut lalu menbrak gunung," kata juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Wachyono, kepada VIVAnews.com. Saat ini, anggota Polsek dan Koramil setempat sudah berada di lokasi kejadian.

Aparat keamanan yang ada di lokasi kejadian mencoba mengevakuasi dan mencari korban. Menurut Wachyono, hingga saat ini tidak ditemukan adanya korban jiwa akibat kecelakaan yang terjadi pagi tadi.

Tapi, kerusakan parah terjadi pada pesawat kecil yang belum diketahui jenisnya itu. "Sayap kirinya patah. Baling-baling juga bengkok," ujarnya lagi.

Informasi yang diterima, pesawat yang diawaki Kapten Pilot Rafael Baskara dan Engineering Erwin Faisal itu berangkat dari Bandara Nabire menuju Homeyo. Pesawat mengangkut BBM jenis solar milik PT UMI, perusahaan yang sedang mengerjakan proyek pembangunan jalan Sugapa - Enarotali.

Sekitar pukul 09.45 WIT, pada saat akan mendarat di lapangan terbang Homeyo, terjadi gangguan angin dari arah kiri pesawat. Pesawat mencoba menghindari angin dan pilot berusaha untuk mendarat ke arah kiri.

Tapi, saat menyentuh landasan, roda pesawat tiba-tiba patah. Akibatnya, sayap kiri pesawat terseret ke landasan termasuk baling-balingnya. Meski sempat menabrak gunung, sambung Wachyono, pilot dan mekanik selamat. "Tidak ada korban jiwa, BBM yang diangkut juga aman," ujar dia.
--------------------------------
OPERASI SANDI "AWAS!"
Pemangku Alam dan Adat
READ MORE - Pesawat Tabrak Gunung di Papua

Banjir Genangi Jalur Kereta Api di Pasuruan

PASURUAN, KOMPAS.com — Banjir kiriman melanda puluhan desa di 8 kecamatan setelah sehari hujan mengguyur wilayah pegunungan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Banjir terjadi setelah sejumlah sungai tidak mampu menampung derasnya debit air. Tak hanya itu, banjir juga menggenangi arus lalu lintas di jalur pantura dan jalur rel kereta api, Jumat (3/2/2012).

Puluhan desa yang dilanda banjir itu tersebar di delapan kecamatan, yakni Kecamatan Bugul Kidul, Beji, Bangil, Pandaan, Rembang, Winongan, Rejoso, dan Grati. Kecamatan terparah di Kecamatan Bangil karena tercatat delapan desa yang rumahnya terendam genangan air. Ketinggian air mulai 50 sentimeter hingga 1 meter.

"Kemungkinan air akan terus naik, karena hujan di wilayah pegunungan juga masih deras. Untuk itu petugas masih mengumpulkan data-data desa yang dilanda banjir," ujar Yudha Triwidya Sasongko, Ketua BPBD Kabupaten Pasuruan.

Penyebab meluasnya banjir kiriman akibat beberapa sungai tak mampu menampung derasnya aliran air dari wilayah pegunungan. Di antaranya Sungai Kedung Larangan, Sungai Rejoso, dan Sungai Blandongan.

"Air meluber hingga ke jalan raya dan perkampungan. Dan, ini paling terparah selama musim penghujan," ujar Munawar, warga Blandongan, Bugul Kidul.

Selain puluhan desa, genangan air juga merendam arus lalu lintas di jalur pantura, tepatnya di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Pasuruan, dan Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan. Arus lalu lintas dari Pasuruan menuju Probolinggo-Banyuwangi atau sebaliknya merambat hingga 4 kilometer.

Sementara jalur kereta api yang terendam air setinggi 20 sentimeter di Km 1 Stasiun Kota Pasuruan. "Semoga saja kereta api Mutiara Timur tak terganggu karena air yang biasa menggenangi jembatan ini cepat surut," ujar Marhadi, Kabag Pengawas Rel Stasiun Kota Pasuruan.
--------------------------------
OPERASI SANDI "AWAS!"
Pemangku Alam dan Adat
READ MORE - Banjir Genangi Jalur Kereta Api di Pasuruan

Banyak Seni Sakral Beralih Fungsi Hiburan

DENPASAR, KOMPAS.com--Pengamat sosial dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr Wayan Suarjaya, menilai, banyak kesenian sakral di Bali beralih fungsi menjadi seni hiburan.

"Padahal seni sakral sangat terkait dengan ruang, waktu, dan proses untuk melengkapi kegiatan ritual umat Hindu," katanya di Denpasar, Kamis.

Mantan Dirjen Bimas Hindu Departemen Agama itu menambahkan bahwa fungsi dan makna seni sakral sangat terkait dengan aktivitas keagamaan sehingga saling melengkapi antara kegiatan ritual dan pementasan.

Sebaliknya seni tari itu bisa menjadi sakral dan bermakna, jika didukung oleh pelaksanaan upacara keagamaan. "Kondisi di Bali saat ini antara sakral dan profan sangat berimpitan," katanya.

Menurut dia, di Bali secara konseptual setiap aktivitas seni atau kesenian seprofan apa pun selalu diawali dengan proses ritual.

Oleh sebab itu, jika ingin masih tetap menempatkan kesakralan sebuah kesenian, maka pada waktu pelaksanaan upacara di pura atau tempat suci milik keluarga, termasuk disaksikan wisatawan hendaknya memenuhi aturan yang berlaku selama ini di masyarakat setempat, meskipun tidak ada aturan tertulis.

Wayan Suarjaya berpendapat bahwa aktivitas seni dan keagamaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa sehingga pelaksanaannya tidak bisa lepas dengan adat, budaya, dan agama Hindu.

Adat dan budaya mengemas pelaksanaan aktivitas keagamaan sehingga menambah kemantapan keyakinan umat Hindu, sedangkan budaya dan adat dijiwai oleh agama yang dianut masyarakat Bali.

"Agama, adat dan budaya ibarat sebutir telur, intinya adalah agama, putih telurnya sebagai pembungkus kuning telur sebagai adat, sedangkan yang tampak paling besar adalah kulit telur sebagai budaya yang ketiganya saling melengkapi dan saling mengisi, sekaligus menentukan keberhasilan dalam aktivitas keagamaan dan budaya masyarakat Bali," Wayan Suarjaya.
--------------------------------
OPERASI SANDI "AWAS!"
Pemangku Alam dan Adat
READ MORE - Banyak Seni Sakral Beralih Fungsi Hiburan

Budaya: Bahasa Tandia di Papua Barat Punah


MANOKWARI, KOMPAS.com - Bahasa asli penduduk Tandia, Distrik Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dipastikan punah. Saat ini idak ada lagi penuturnya, dan tak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya.
Faktor pemekaran wilayah hingga perkawinan antarsuku, diduga menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah itu.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Universitas Negeri Papua (Unipa), Andreas Deda, Jumat (3/2/2012), bahasa Tandia milik suku Mbakawar (Tandia) diperkirakan sudah punah sejak tahun 1970-an.
Sebelumnya, bahasa daerah ini diduga mati, maksudnya ada penuturnya tetapi tak digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Namun, setelah dilakukan penelitian pada awal 2011, ternyata tidak ada lagi masyarakat suku Mbakawar yang tersebar di empat kampung di Distrik Rasiei, menguasai dan menggunakan bahasa itu sehari-hari.
Dari tiga orang warga yang dijadikan nara sumber, semuanya lanjut usia, ternyata hanya menguasai kurang dari 30 suku kata dan frase bahasa Tandia.
"Tidak ada lagi penduduk asli suku Mbakawar yang bisa bahasa Tandia. Sehari-hari, mereka memakai bahasa Wandamen, bahasa suku Wamesa yang juga mendiami daerah Teluk Wondama," kata Andreas.

Punahnya bahasa Tandia disebabkan sejumlah faktor, di antaranya perkawinan antarsuku yang terjadi selama ratusan tahun. Banyaknya laki- laki suku Mbakawar menikahi perempuan suku Wamesa (Wandamen), mengakibatkan anak-anak mereka lebih mengenal bahasa ibunya, ketimbang bahasa dari keluarga ayahnya.
Pusat keramaian di daerah Teluk Wondama adalah di kampung suku Wamesa, sehingga bahasa pergaulan yang lebih banyak dipakai adalah bahasa Wandamen.
Selain itu, pewarisan bahasa Tandia terhalang mitos yang berkembang di kalangan suku mereka sendiri. Ada keyakinan, jika anak suku Mbakawar menggunakan bahasa Tandia saat orang tuanya masih hidup, maka dia akan celaka. Bahasa ini dianggap tabu digunakan dalam percakapan antar orang tua dan anaknya.
Penyebab lainnya, tambah dosen linguistik Unipa, Hendrik Arwam, adalah pemekaran wilayah yang jamak terjadi di tanah Papua.
Pengguna dan penutur bahasa menjadi lebih sedikit, karena terpisah wilayah administrasi. Ditambah lagi, kesadaran orang tua mengenalkan dan membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa daerah.
Sejarah panjang mobilisasi dan penaklukan suku tertentu terhadap wilayah suku lain di tanah Papua, juga menyebabkan bahasa dari sebuah suku tidak digunakan lagi dan hilang. Tak jarang, malah memunculkan ragam bahasa daerah baru, yang merupakan percampuran bahasa suku asli dangan suku penakluk.
Diperkirakan 30 dari 58 bahasa daerah di Papua Barat punah selama 20 tahun terakhir. Selain itu, 10-15 bahasa daerah juga dipastikan mati, karena tidak pernah digunakan lagi oleh penuturnya, seperti bahasa Meyah, Mpur, Dusner, dan Karondori.
Andreas menyesalkan pemda serta lembaga dewan adat tidak tanggap dengan kondisi seperti ini. Seharusnya, pemda mengajarkan bahasa daerah pada kurikulum muatan lokal di sekolah, sementara lembaga dewan adat tidak hanya mengurusi politik, yang bukan sepenuhnya urusan lembaga adat.
--------------------------------
OPERASI SANDI "AWAS!"
Pemangku Alam dan Adat
READ MORE - Budaya: Bahasa Tandia di Papua Barat Punah