Sabtu, 04 Februari 2012

Budaya: Bahasa Tandia di Papua Barat Punah


MANOKWARI, KOMPAS.com - Bahasa asli penduduk Tandia, Distrik Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, dipastikan punah. Saat ini idak ada lagi penuturnya, dan tak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya.
Faktor pemekaran wilayah hingga perkawinan antarsuku, diduga menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah itu.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Universitas Negeri Papua (Unipa), Andreas Deda, Jumat (3/2/2012), bahasa Tandia milik suku Mbakawar (Tandia) diperkirakan sudah punah sejak tahun 1970-an.
Sebelumnya, bahasa daerah ini diduga mati, maksudnya ada penuturnya tetapi tak digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Namun, setelah dilakukan penelitian pada awal 2011, ternyata tidak ada lagi masyarakat suku Mbakawar yang tersebar di empat kampung di Distrik Rasiei, menguasai dan menggunakan bahasa itu sehari-hari.
Dari tiga orang warga yang dijadikan nara sumber, semuanya lanjut usia, ternyata hanya menguasai kurang dari 30 suku kata dan frase bahasa Tandia.
"Tidak ada lagi penduduk asli suku Mbakawar yang bisa bahasa Tandia. Sehari-hari, mereka memakai bahasa Wandamen, bahasa suku Wamesa yang juga mendiami daerah Teluk Wondama," kata Andreas.

Punahnya bahasa Tandia disebabkan sejumlah faktor, di antaranya perkawinan antarsuku yang terjadi selama ratusan tahun. Banyaknya laki- laki suku Mbakawar menikahi perempuan suku Wamesa (Wandamen), mengakibatkan anak-anak mereka lebih mengenal bahasa ibunya, ketimbang bahasa dari keluarga ayahnya.
Pusat keramaian di daerah Teluk Wondama adalah di kampung suku Wamesa, sehingga bahasa pergaulan yang lebih banyak dipakai adalah bahasa Wandamen.
Selain itu, pewarisan bahasa Tandia terhalang mitos yang berkembang di kalangan suku mereka sendiri. Ada keyakinan, jika anak suku Mbakawar menggunakan bahasa Tandia saat orang tuanya masih hidup, maka dia akan celaka. Bahasa ini dianggap tabu digunakan dalam percakapan antar orang tua dan anaknya.
Penyebab lainnya, tambah dosen linguistik Unipa, Hendrik Arwam, adalah pemekaran wilayah yang jamak terjadi di tanah Papua.
Pengguna dan penutur bahasa menjadi lebih sedikit, karena terpisah wilayah administrasi. Ditambah lagi, kesadaran orang tua mengenalkan dan membiasakan anak-anaknya menggunakan bahasa daerah.
Sejarah panjang mobilisasi dan penaklukan suku tertentu terhadap wilayah suku lain di tanah Papua, juga menyebabkan bahasa dari sebuah suku tidak digunakan lagi dan hilang. Tak jarang, malah memunculkan ragam bahasa daerah baru, yang merupakan percampuran bahasa suku asli dangan suku penakluk.
Diperkirakan 30 dari 58 bahasa daerah di Papua Barat punah selama 20 tahun terakhir. Selain itu, 10-15 bahasa daerah juga dipastikan mati, karena tidak pernah digunakan lagi oleh penuturnya, seperti bahasa Meyah, Mpur, Dusner, dan Karondori.
Andreas menyesalkan pemda serta lembaga dewan adat tidak tanggap dengan kondisi seperti ini. Seharusnya, pemda mengajarkan bahasa daerah pada kurikulum muatan lokal di sekolah, sementara lembaga dewan adat tidak hanya mengurusi politik, yang bukan sepenuhnya urusan lembaga adat.
--------------------------------
OPERASI SANDI "AWAS!"
Pemangku Alam dan Adat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar