Kamis, 09 Februari 2012

Kebijakan Perkebunan Memasung Hak Ulayat

Oleh : Fauzan Zakir. Advokat dan Mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azazi Manusia (PBHI).

Banyaknya kasus yang muncul pasca ditetapkannya UUPA menunjukkan bahwa peraturan dan kebijakan negara yang menyangkut pertanahan, baik untuk perkebunan maupun untuk pertanian tidak serta merta memberi manfaat yang luas bagi masyarakat termasuk kalangan petani yang sesungguhnya memerlukan undang-undang tersebut.

Seperti halnya yang dikemukakan oleh Profesor Mubyarto; “sumber utama dari kekeliruan negara adalah kecenderungan rezim kepada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat untuk meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), tanpa memperhatikan pemerataan keadilan sosial”. Kebijakan perkebunan yang menyimpang dan sumir sejak masa kolonial sampai sekarang terus memperburuk sistem hukum pertanahan nasional. Bahkan tragisnya, ribuan nyawa rakyat menjadi taruhannya. Rentetan kasus Mesuji, Bima baru-baru ini sebagai bukti ketidakkonsistenan negara menjalankan amanah konstitusi maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang secara inveratif menghormati dan melindungi hak-hak komunitas masyarakat adat dalam bingkai status hak ulayat yang istimewa pula.

Sebenarnya UUPA dengan tegas memposisikan fungsi negara sebatas mengatur saja, karena pada prinsipnya rakyat jualah yang berhak memiliki dan menerima manfaat dari tanah beserta kandungannya, baik secara individual maupun secara kolektif (ulayat).

Sama pula halnya dengan prinsip penguasaan tanah oleh negara yang mengatur keseluruhan pemanfaatan tanah bagi kemaslahatan rakyat banyak, maka fungsi ninik-mamak di Minangkabau juga adalah sebagai penguasa terhadap tanah ulayat yang hanya berwenang mengatur pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan kolektivitas kaumnya secara turun-temurun dari keseluruhan anggota kaum, suku dan nagari.

Begitu banyaknya peralihan-peralihan hak atas tanah yang terjadi, terutama Hak Ulayat menjadi Hak Guna Usaha (HGU) selama ini telah menjadikan bukti yang tak terbantahkan lahirnya konflik-konflik perkebunan di Indonesia. Ditambah dengan pola kebijakan perkebunan yang cenderung diregulasi dengan cara yang inkonstitusional, merampas dan memasung hak ulayat.

Hampir setiap kebijakan perkebunan, ditelorkan dengan menghalalkan segala cara untuk menyokong ‘ideologi pembangunan’. Terutama untuk memfasilitasi dunia investasi yang sebenarnya cenderung kapitalistik. Mengakibatkan hak-hak masyarakat adat yang merupakan warga negara menjadi terzalimi demi kepastian hukum yang bersifat individualistik untuk kepentingan investasi semata.

Menjelang runtuhnya Orde Baru, terlihat dengan jelas banyak konflik-konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah sebagai akibat dari kebijakan yang tidak populis tersebut. Bahkan secara sistemik pengaturan hukum pertanahan dan regulasi di bidang investasi tidak pernah sinkron dan selalu tumpang tindih satu sama yang lainnya, seperti halnya pemberlakuan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 maupun Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun 1998 tentang Tata Cara Penanaman Modal yang pada akhirnya dibuat untuk mengangkangi kepentingan masyarakat lokal.

Reformasi Agraria Atau Revolusi Sosial ?
Istilah reformasi hukum pertanahan (land reform) di Indonesia sebenarnya sudah lama digembor-gemborkan, mulai sejak Indonesia merdeka, masa Orde Lama, Orde Baru dan mencuat kembali dimasa reformasi.

Mengemukanya kembali upaya perubahan terhadap UUPA pasca reformasi terjadi diera kepemimpinan Megawati yang berinisiatif dan bersemangat melakukan revisi UUPA tersebut, yakni dengan mengeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Hal mana intinya adalah memerintahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesegeranya melakukan perubahan terhadap UUPA. Akan tetapi perubahan yang diinginkan itu sampai sekarang masih terhalang.

Sekalipun drafnya sudah selesai dibuat oleh KPA (Komisi Pembaharuan Agraria) dan bola itu sekarang sudah berada di tangan DPR. Namun betapa ironisnya sudah 12 tahun reformasi berjalan, yang namanya DPR tetap saja memendam draf perubahan UUPA tersebut sampai sekarang.

Bahkan, sekalipun telah dipancing dengan ekspos Presiden SBY baru-baru ini yang setuju untuk mendorong reformasi agraria di tahun 2012 ini.
Memang diakui ada kemajuan sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan ini dikeluarkan, karena cukup memberikan perlindungan terhadap keberadaan tanah ulayat dan komunitas masyarakat hukum adat.

Sekalipun bila dicermati pasal demi pasal tetap saja undang-undang perkebunan ini mengandung sisi lemah, antara lain ; undang-undang ini cenderung memperlihatkan dominasi negara (Pasal 18), masih memberi peluang praktek monopoli (Pasal 20) dan pengabaian terhadap prinsif keberlanjutan lingkungan (Pasal 23)”. Undang-undang ini juga tidak memberi jalan keluar terhadap realitas konflik sosial yang sudah lama muncul disektor perkebunan. Hendaknya undang-undang ini memberi ruang atau menawarkan satu sistem atau mekanisme untuk menyelesaikan konflik perkebunan. Apalagi melihat realitas konflik perkebunan yang terus meningkat dari dulu sampai sekarang.

Mencermati hal demikian, maka harapan kita ke depannya, hendaklah pemerintah dan pembuat undang-undang yang memerancang perubahan UUPA menghindari kemungkinan terjadinya benturan antara hukum positif dengan hukum adat yang berlaku, sebagaimana poin inti dari tuntutan reformasi hukum agraria hari ini.

Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal di antaranya adalah: Pertama melakukan perubahan atas materi UUPA itu sendiri, di mana UUPA harus memperhatikan konsistensi konstitusi terhadap setiap peraturan pelaksana yang dilahirkan dan jelas tidak bertentangan dengan hukum adat yang berlaku. Kedua, pemerintah harus mengeluarkan political will-nya dalam hal kebijakan perkebunan yang mampu mengakomodir kepentingan dan kesejahteraan bagi rakyat yang miskin, bukan sebaliknya membuat Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah lainnya yang terus membela kepentingan modal asing. Ketiga, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan terkait dengan tanah perkebunan harus menghormati hak-hak konstitusional masyarakat adat yang istimewa, sesuai dengan Pasal 18B UUD 1945.

Berkenaan dengan hal di atas, kalau pemerintah tidak cepat merealisasikan hukum tanah yang memihak kepada rakyat, maka bukan reformasi agraria yang akan terjadi, namun revolusi sosial yang hebat, karena bagi petani dan komunitas masyarakat adat, “tanah menjadi tumpuan keberlangsungan hidupnya”. Sebagaimana juga catatan panjang revolusi-revolusi sosial yang pernah terjadi seluruh dunia.

Ternyata sepotong roti yang harganya terus melambung tanpa bisa terbendung, justru menjadi pemicu revolusi sosial, seperti halnya di Perancis. Lagi pula, toh segala peraturan dan kebijakan terkait pertanahan masa lalu dan kebijakan perkebunan hari ini yang tidak berpihak pada rakyat, tanpa melihat rezimnya siapapun, tetap saja menuai konflik di era kekuasaannya dan meninggalkan batu sandungan bagi penguasa di masa datang.

Munculnya konflik pertanahan yang tak kunjung padam seperti yang terjadi selama ini adalah, karena negara justru sering kali tidak mau tahu dengan nasib rakyat, dan justru menggembosi nilai-nilai dan fungsi sosial tanah (sekalipun dalam praktiknya berlindung dengan alasan kepentingan umum). Nyatanya sampai hari ini, negara jualah yang membuat jurang pemisah yang mendalam antara rakyat miskin di satu sisi dengan kaum pemodal di sisi lain. Jurang perbedaan yang mencolok akibat kebijakan perkebunan yang salah kaprah.

Sementara di sisi yang diuntungkan, kaum pemodal dengan mudah mendapat fasilitas dari penguasa untuk terus menggurita menguasai dan memiliki lahan hingga ratusan ribu hektare. Inilah bentuk ketidakadilan yang benar-benar nyata, karena keberpihakan negara kepada kaum pemodal. Sementara penindasan dan penyengsaraan terus menyertai pemilik lahan. Serupa betullah dengan adat membelah betung: ketika sisi yang satu kena pijak, sisi yang lainnya dilambungkan. (*)

------------------------------------
OPERASI SANDI "AWAS!"
Pemangku Alam dan Adat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar