Sabtu, 08 September 2012

Pengertian Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural serta ke mana Indonesia termasuk...!


MoyangNews: Pengertian masyarakat majemuk masyarakat multikultural serta ke mana Indonesia termasuk merupakan suatu topik yang menarik untuk disampaikan. Bhinneka Tunggal Ika, demikian slogan yang dicengkeram oleh Garuda, burung lambang negara kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, atas dasar tersebut, asumsi yang kini terus bertahan adalah Indonesia selalu dianggap majemuk bukan multikultur. Asumsi ini harus mulai dipertanyakan karena pola masyarakat majemuk sarat bias kolonial Belanda. Sejumlah ahli kemasyarakatan Indonesia, semisal Parsudi Suparlan, berupaya mendekonstruksi asumsi majemuk masyarakat Indonesia menjadi multikultural. Asumsi majemuk dianggap tidak sehat dalam menciptakan harmoni dan integrasi Indonesia yang ditengarai berbagai kerusuhan berbias etnis maupun agama. Pada kesempatan ini perlu dinyatakan kaum intelektual Indonesia pun dianggap bertanggung jawab karena turut mempertahankan konsepsi masyarakat majemuk Indonesia ke dalam wacana publik.

Terdapat kehendak kuat mengganti asumsi beragamnya primordial Indonesia dengan tidak lagi menggunakan denotasi majemuk melainkan multikultural. Dalam multikultural, etnis-etnis yang berbeda setara posisinya dalam proses hidup dan berpolitik di dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Sebaliknya konsepsi masyarakat majemuk menyiratkan bias konsep dominasi salah satu etnis atau ras dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia.

Untuk itu, akan ditelusuri sejumlah teori sosial berkenaan dengan konsep majemuk dan multikultur masyarakat. Ini guna mencari pijakan teoretis dalam melakukan counter theory terhadap hegemoni konsep masyarakat majemuk dalam studi-studi sosial dan politik Indonesia. Tentunya, kita berharap yang baik, bahwa integrasi antar elemen masyarakat Indonesia tercipta tidak berdasarkan paksaan melainkan melalui proses negosiasi secara alamiah dan penuh kedamaian.

Masyarakat Majemuk Indonesia

John Sydenham Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia masuk ke dalam kategori masyarakat majemuk (plural society). Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya membuat mereka kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.[1]

Studi Furnivall saat itu dikhususkan pada masyarakat yang mengalami tindak kolonial barat seperti Burma, India, ataupun Indonesia. Mengenai fakta plural society ini, Furnivall menulis dalam salah satu studinya mengenai Burma:

In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the medley of peoples ---European, Chinese, Indian, and native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As individuals they meet, but only in the market-place, in buying and selling. There is a plural society, with different sections of the community living side by side but separately, within the same political unit. Even in the economic sphere there is a division of labour along racial lines.[2]

Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok, yang tinggal bersama dalam suatu wilayah, tetapi terpisah menurut garis budaya masing-masing. Kemajemukan suatu masyarakat patut dilihat dari dua variabel yaitu kemajemukan budaya dan kemajemukan sosial. Kemajemukan budaya ditentukan oleh indikator-indikator genetik-sosial (ras, etnis, suku), budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah. Kemajemukan sosial ditentukan indikator-indikator seperti kelas, status, lembaga, ataupun power. Skema dalam Gambar 12 dapat digunakan untuk mempermudah peta pembicaraan masyarakat majemuk.[3]

Di dalam kenyataan, kedua variabel kerap berhimpitan sehingga menambah kompleksitas masalah. Dalam masyarakat India misalnya, kemajemukan budaya terbentuk dari anutan penduduk atas sejumlah agama besar yaitu Hindu, Islam, Kristen, dan Sikh. Kendati kini mulai memudar, dalam masyarakat Hindu, berlaku kasta dan ini merupakan konsekuensi logis dari ajaran agama. Di dalam masyarakat yang menganut agama Islam, kasta tidak berlaku dan situasi masyarakat lebih egaliter. Kemajemukan budaya tersebut merambah pada kemajemukan sosial. Kasta di dalam masyarakat Hindu menciptakan kelas-kelas dan status-status sosial, sementara pelapisan kelas dan status tersebut berjalan secara berbeda di dalam masyarakat India yang Islam. Terjadi perbedaan penafsiran tajam antara kedua elemen masyarakat India tersebut. Masing-masing masyarakat memerlukan space atau wilayah untuk mengimplementasikan keyakinan budaya dan sosial yang berbeda. Friksi tajam ini berkulminasi dalam pemisahanan India (Hindu), Pakistan (Islam, di barat India), dan Bangladesh (Islam, di timur India) sejak 1948 lewat fasilitasi Inggris.

Pengamatannya atas Burma yang ia samakan dengan Jawa, Furnivall menyatakan masyarakat majemuk terpisah menurut garis budaya yang spesifik, di mana kelompok-kelompok di dalam unit politik menganut budaya yang berbeda. Kelompok yang satu berbaur dengan kelompok lainnya tetapi masing-masing tidak saling mengkombinasikan budayanya. Kelompok-kelompok masyarakat berbeda tersebut saling bertemu dalam kegiatan sehari-hari (semisal di pasar), tetapi masing-masing mempraktekkan budayanya masing-masing. Di pasar-pasar tradisional, para pedagang berasal dari etnis berbeda, sehingga kerap memperdengarkan percakapan dalam aneka bahasa: Jawa, Batak, Padang, Madura, Sunda, dan lain-lain. Pedagang pun terkotak berdasarkan komoditas yang didagangkan misalnya pedagang Minang di bagian pakaian, pedagang Batak di kelontong/grosir, pedagang Jawa di sayur-mayur dan bahan mentah, pedagang Madura di lapak ikan, pedagang Banten di los daging, dan seterusnya.

Parsudi Suparlan memberi catatan tentang masyarakat majemuk ini. Dalam tulisannya Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, Suparlan menulis:

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komuniti-komuniti sukubangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jatidiri.

Berdasarkan ciri-ciri fisik atau tubuh yang dipunyai oleh seseorang, gerakan-gerakan tubuh yang dibarengi dengan bahasa yang digunakan dan logat yang diucapkan, dan berbagai simbol-simbol yang digunakan [...] dia akan diidentifikasi sebagai tergolong dalam sesuatu sukubangsa dari sesuatu daerah tertentu oleh seseorang lainnya. Bila ciri-ciri tersebut tidak dapat dipergunakan [...] maka seseorang tersebut akan menanyakan dari mana asalnya [...][4]


---------------> gambar peta masyarakat majemuk <-------------------------


Lebih lanjut Suparlan menyatakan:

Masyarakat majemuk atau plural society adalah sebuah masyarakat yang terwujud karena komuniti-komuniti sukubangsa yang ada telah secara langsung atau tidak langsung dipaksa untuk bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional [...]

Dalam masyarakat majemuk Hindia Belanda, tidak ada tatanan demokrasi. Dalam tatanan itu, dengan jelas dibedakan antara tuan yang penguasa dan hamba yang pribumi. Pembedaan antara tuan dan hamba dilakukan berdasarkan atas ciri-ciri fisik atau rasial, kesukubangsaan, keyakinan keagamaan, dan jenjang sosial menurut patokan feodalisme yang secara tradisional berlaku.[5]

Faktor suku (juga agama) menjadi perhatian serius bagi negara yang terbangun lewat gejala masyarakat majemuk. Faktor etnis dan agama menjadi persoalan sensitif yang mampu memicu kekerasan dan konflik, seperti kerap terjadi di Indonesia. Ini akibat proses integrasi nasional yang belum selesai. Integrasi semu sempat terjadi di Indonesia selama Orde Baru, di mana Soeharto berupaya mensubordinasi tiap-tiap budaya etnis ke bawah jargon budaya nasional. Ia mengembangkan tabu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sebagai terlarang untuk dipertentangkan di muka publik. Kemayaan ini tampak jelas setelah Soeharto turun dari kekuasaan, konflik-konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan jadi meruyak.

Memang selama pemerintahan Soeharto kondisi terkesan harmonis meskipun sekadar berupa api dalam sekam. Kondisi harmonis karena negara sangat strong dengan alat pengaman negara (militer, intelijen) yang padu. Terbukti, saat politik kekuasaan Soeharto melemah, banyak konflik yang dilatari etnis, agama, ras, dan antargolongan justru terjadi dengan mudahnya, bahkan berlarut-larut. Malah setelah terpojok Soeharto justru menggunakan tabu SARA-nya sendiri untuk membangun kuda-kuda politik barunya di era 1990-an: Merangkul kalangan Islam modernis dan merenggangkan jarak dengan kelompok nasionalis dan non Muslim yang selama ini menjadi sekutu dekatnya.

Mengenai hubungan antarkelompok dalam masyarakat majemuk, Leo Kuper memberi catatan berikut: [6]

  1. Societies composed of status groups or estates that are phenotypically distinguished, have different positions in the economic order and are differentially incorporated into the political structure, are to be called plural societies and distinguished from class societies. In plural societies political relations influence relations to the means of production more than any influence int the reverse direction.
  2. When conflicts develop in plural societyes ther follow the lines of racial cleavage more closely tahan those of class.
  3. Racial categories in plural societies are historically conditioned; they are shaped by inter-group competition and conflict.

Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[7] Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu: [8]

  1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain;
  2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
  3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
  4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
  5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; serta
  6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Melalui paparan di atas, diketahui bahwa teori masyarakat majemuk (plural society) awalnya lahir dari pengamatan J.S. Furnivall atas negara-negara kolonial dan postcolonial. Di negara-negara tersebut, masyarakat terkotak ke dalam sekat-sekat asal usul (suku, ras, agama, golongan) di mana satu suku atau agama mendominasi lainnya. Masyarakat tersebut dipaksa untuk bersatu oleh sebuah kuasa kolonial. Namun, kendati disatukan mereka dipecah di dalamnya agar tidak bersatu. Mereka disatukan hanya agar mudah dieksploitasi. Masyarakat majemuk mudah terbelah akibat tiadanya common will (kehendak bersama). Akibatnya, individu dalam masyarakat hanya loyal kepada kelompok basis primordial mereka. Common will yang bersifat nasional kendatipun ada hanyalah sebatas jargon. Ini merupakan hasil sukses politik Divide et Impera kaum kolonial. Kondisi masyarakat majemuk, bagi Sammy Shooha, [...] created by Western imperialism, and maintained through political coercion for economic exploitation of nonwhite populations. They consist of a medley of peoples who share little more than the imposed economy and policy.[9]

Konflik-konflik akibat struktur masyarakat majemuk juga terjadi antara masyarakat eks penjajahan bangsa-bangsa barat yang secara tajam dipisahkan kemajemukan seperti Hindu dan Muslim di India (diikuti pemisahan Pakistan), Burma (etnis Karen), Aljazair (masalah agama, bahasa Berber, Arab, Perancis), Zanzibar (etnis Watumbatu, Wahadimu, dan Wapemba), Rwanda (Hutu dan Tutsi), Burundi (Hutu dan Tutsi), Kongo (Hutu dan Tutsi), Angola (Ambundu, Bakongo, dan Ovimbundu), Mozambik (Frelimo, Renamo), Afrika Selatan (warisan Aparteid), Nigeria (suku Ibo versus Hausa versus Yoruba), Uganda (Acholi dan Baganda), Sudan (Arab dan nonarab), Ethiopia (Ethiopia dan Eritrea), Siprus (Yunani dan Turki), Irlandia Utara (Protestan dan Katolik), Israel (Palestina-Yahudi, Yahudi Relijius-Yahudi Sekuler, Yahudi Oriental-Yahudi Ashkenazi), Vietnam, Bangladesh, Lebanon (Kristen Maronit versus Kristen Druze versus Islam Sunni versus Islam Syiah), Malaysia (India versus Cina versus Melayu), Srilangka (etnis Sinhala versus Tamil), dan Indonesia (lewat serangkaian kerusuhan bermuatan etnis dan agama di Sampit, Poso, dan Ambon).

Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita ekses negatif masyarakat majemuk. Selama penjajahan, masyarakat dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras dan golongan. Pembelahan dilakukan secara sistematis, terstruktur, menggunakan agen-agen khusus Belanda seperti Hendrikus Colijn. Pembelahan terus bertahan bahkan hingga pasca Indonesia merdeka. Isu-isu Islam versus Non Islam, Jawa versus Luar Jawa, Luar versus Pribumi, masih laku sebagai komoditas politik maupun amunisi pemicu konflik kekerasan. Terlebih, Pancasila sebagai konsensus nasional mulai dianggap sepi masing-masing komunitas politik dan budaya Indonesia. Ruang kosong ideologi semakin memperlemah kohesi masyarakat multikultur Indonesia.

Simbol, bahasa, nilai, dan norma nasional kendati ada – penggunaan bahasa Indonesia, simbol negara seperti bendera dan lagu kebangsaan, nilai seperti Pancasila, dan norma seperti aturan hukum dan perundang-undangan – belum sepenuhnya mampu memadamkan kekuatan politik etnis dan sektarian. Pertikaian sepanjang garis etnis, agama, dan golongan mewarnai peta kehidupan bermasyarakat dan bernegara Indonesia.

Sulit diprediksi apakah Indonesia masih relevan untuk disebut masyarakat majemuk atau tidak, tetapi fakta menunjukkan jawabannya adalah ya. Namun, jika pertanyaan susulan diajukan adalah apakah paham kemajemukan dapat disaingi maka jawabannya adalah ya. Persoalan mendesak adalah bagaimana membelokkan dominasi paradigma masyarakat majemuk menjadi paradigma lain yang lebih toleran dan mungkin menciptakan integrasi nasional yang lebih baik bagi Indonesia. Seperti Indonesia yang awalnya sebuah gagasan, masyarakat multikultural juga sebuah gagasan, layaknya masyarakat majemuk. Sebagai gagasan, paradigma multikultural sesungguhnya dapat diupayakan di Indonesia.

Masyarakat Multikultural Indonesia

Tidak dipungkiri, Indonesia negara dengan kultur beraneka ragam. Bahkan, Indonesia – oleh Parsudi Suparlan – tegas dimasukkan ke dalam kategori plural society atau masyarakat majemuk dengan sejumlah dimensi negatifnya. Kultur yang beraneka ragam (multikultur) oleh kolonial Belanda direkayasa sedemikian rupa (ironisnya dilanjutkan oleh elit-elit politik lokal dan nasional) guna menjamin posisi kekuasaan. Masyarakat dibelah menurut kategori suku, agama, ras, dan golongan: Jadilah masyarakat majemuk. Pembelahan dilakukan dengan cara melakukan permanensi atas perbedaan lalu membenturkan satu sama lain. Hingga kini, efek pembelahan masih terasa bahkan banyak meledak dalam rentetan panjang konflik horisontal di Indonesia.

Sejumlah ilmuwan sosial menawarkan gagasan lebih bijaksana dalam mengatasi perbedaan tajam antar komunitas dalam masyarakat. Gagasan baru tersebut guna menggantikan gagasan usang masyarakat majemuk yaitu multiculturalism. Multikulturalisme dapat disebut paradigma sebab merupakan cara berpikir tandingan dalam metode hubungan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan dalam sebuah kesatuan politik. Multikulturalisme adalah gagasan politik yang hendak mengubah gagasan masyarakat majemuk yang konfliktual ke arah gagasan masyarakat multikultural yang konsensual.

Untuk menyamakan sudut pandang, baiklah kami sertakan terlebih dahulu dua definisi multikulturalisme. Definisi pertama kami ambil dari Tariq Modood sementara yang kedua dari Steven Bochner. Tariq Modood mendefinisikan multikulturalisme sebagai gagasan politik, yaitu:

[...] the recognition of group difference within the public sphere of laws, policies, democratic discourses and the terms of a shared citizenship and national identity --- while sharing something in common with the political movements [...][10]

Modood berpendapat keragaman primordial harus tetap diakui eksistensinya. Namun, perbedaan tersebut hendaklah jangan diterjemahkan ke dalam bentuk dominasi satu terhadap lain juga bukan dalam bentuk separatisme politik. Keragaman – lewat prosedur politik – diakui dalam kehidupan publik. Ia terjelma dalam struktur hukum, kebijakan, dan wacana politik. Titik tekan yang mempertemukan semua keragaman adalah kewarganegaraan dan identitas nasional suatu negara. Indonesia memiliki Pancasila sebagai konsensus tatacara hubungan antar komunitas budaya dalam bingkai komunitas politik Indonesia.

Selain dari Modood, definisi multikulturalisme lainnya diajukan Steven Bochner yang menekankan keunikan hubungan dalam sebuah masyarakat multikultural:

[...] refers to social arrangement characterized by cultural diversity. In practice, this mean non-trivial interpersonal contact between individuals and groups who differ in their ethnicity. In multicultural societies, such contact occurs within a climate of tolerance and mutual respect. A distinction is drawn between the process of multicultural contact, which include the behaviors, attitudes, perceptions and feelings of the participants; and the institutional structures which characterize and either support of hinder benign intercultural contact, which included legislation, government policy, and employment practices.[11]

Bochner lebih menekankan pendekatan interaksi-simbolik dalam lingkup sosial psikologis tinimbang politik. Baginya, multikulturalisme merupakan kesepakatan sosial yang dikarakteristikkan keragaman kultural. Masing-masing entitas yang berbeda dimensi kulturalnya melakukan kontak satu sama lain berdasarkan sikap toleransi dan saling hormat-menghormati. Dasar aturan setiap kontak dijamin dalam undang-undang, kebijakan pemerintah, bahkan di dalam praktek keseharian dunia pekerjaan (peraturan-peraturan organisasi).

Konsep masyarakat majemuk, seiring perkembangan demokratisasi pada konteks global, semakin kehilangan signifikansinya karena efek dominasi mayoritas atas minoritas atau etnis dominan atas kurang dominan di dalam konsep usang tersebut. Konsep warisan kolonial ini perlu didekonstruksi untuk kemudian digantikan konsep multikulturalisme. Mengenai multikulturalisme, Baogang He and Will Kymlicka memberi catatan bahwa aneka bangsa dan negara di dunia kini harus menyadari bahwa keragaman adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Keragaman elemen yang membentuk masyarakat politik (negara) tidak bisa dihomogenisasi, apalagi jika dilakukan lewat metode pemaksaan (koersif). Baogang He dan Will Kymlicka lalu melancarkan pernyataan seputar perlunya cara pandang baru dalam mengatasi masalah perpecahan masyarakat karena garis etnis dan agama sebagai berikut:

In the first few decades following decolonization, talk of multiculturalism and pluralism was often discouraged, as states attempted to consolidate themselves as unitary and homogenizing nation-states. Today, however, it is widely recognized that states in the region must come to terms with the enduring reality of ethnic and religious cleavages, and find new ways of accommodating and respecting diversity.[12]

Bagi He and Kymlicka, upaya homogenisasi budaya di suatu negara sudah kehilangan justifikasinya. Ini akibat adanya kenyataan bahwa dalam homogenisasi budaya di negara berkategori plural society (masyarakat majemuk) yang justru terjadi adalah dominasi budaya satu atas budaya lain. He and Kymlicka memandang perbedaan adalah kodrat dan patutnya diterima saja. Hal penting yang perlu dicari solusinya bagaimana jalinan hubungan antar komunitas berbeda dapat berjalan secara harmonis.

He and Kymlicka melanjutkan, upaya homogenisasi nasional selama ini kerap memancing perlawanan kaum minoritas etnis (juga agama) yang termanifestasi lewat keputusan pemisahan diri, kekerasan, bahkan perang sipil seperti yang terjadi di Filipina, Papua New Guinea, Cina, Burma, Indonesia, Srilanka, India, ataupun Pakistan. Konflik kekerasan merupakan salah satu ekses negatif dari pembelahan masyarakat yang berlangsung selama periode kolonial masing-masing negara. Aneka konflik tersebut memanfaatkan kemultikulturalan masyarakat jajahan. Selama periode kolonial, penjajah bekerja sama dengan satu etnis dalam masyarakat untuk menindas etnis lain. Ketika penjajah hengkang, yang tersisa hanyalah amunisi melimpah untuk perang saudara.

Kata multikulturalisme pertama kali digunakan di Kanada tahun 1960-an. Perdana Menteri Kanada, Pierre Trudeau, menggunakannya untuk melawan konsep biculturalism.[13] Di masa sebelumnya, Kanada dikenal hanya terdiri atas dua etnis yang saling bersaing: Inggris dan Perancis. Semenjak Trudeau, dinyatakan bahwa Kanada multikultural, karena terdiri atas etnis dan ras berbeda seperti Inggris, Perancis, Indian, Inuit, serta kaum imigran dari mancanegara seperti Cina, India, Jerman, Arab, dan sebagainya.

Studi multikulturalisme kemudian disistematisasi serta dipopulerkan Will Kymlicka lewat dua karyanya Liberalism, Community and Culture yang terbit tahun 1989 serta Multicultural Citizenship yang terbit tahun 1995. Bagi Kymlicka, pemberian ruang bagi kalangan minoritas suatu negara tidak bisa dicapai hanya lewat jaminan hak-hak individual dalam undang-undang. Minoritas yang dimaksud Kymlicka adalah minoritas budaya, yang secara praktek sosial sehari-hari harus diperhatikan keunikan identitasnya.[14] Kymlicka bicara dalam konteks multikultural dalam satu komunitas politik (negara), yang mungkin saja terdiri atas komunitas-komunitas budaya yang berbeda.

Studi multikulturalisme condong pada studi kewarganegaran, karena khusus mengulas sejumlah perbedaan budaya di tengah komunitas politik (negara). Kymlicka menentang pendapat individu yang hidup dalam komunitas politik otomatis merupakan bagian komunitas budaya yang sama. Secara politik, individu adalah bagian dari satu komunitas politik, tetapi dalam hal budaya, ia merupakan komunitas budaya spesifik. Dalam masalah multikulturalisme ini, Kymlicka membedakan komunitas politik dengan komunitas budaya sebagai:

On the one hand, there is the political community, within which individuals exercise the right and responsibilities entailed by the framework of liberal justice. People who reside within the same political community are fellow citizens. On the other hand, there is the cultureal community, within which individuals form and revise their aims and ambitions. People within the same cultural community share a culture, a language and history which defines their cultural membership.[15]

Komunitas politik – biasa disebut negara – merupakan tempat setiap anggota masyarakat secara legal menjadi warganegara. Hak serta kewajiban mereka sama, tanpa memandang budaya, suku, agama, ras, dan golongan. Komunitas budaya adalah individu mempraktekkan keunikan budaya masing-masing. Mereka menciptakan komunitas-komunitas kebudayaan, tempat dimana mereka menemukan individualitasnya.

Selama ini hubungan antara komunitas politik dengan komunitas budaya tidak selalu harmonis. Komunitas politik kerap memaksakan sebuah komunitas budaya nasional atas aneka komunitas budaya spesifik yang ada di wilayah yuridiksi suatu negara. Dapat diingat kewajiban asimilasi nama Indonesia atas etnis Cina di masa Orde Baru atau pelarangan demonstrasi kebudayaan Cina secara publik? Pemerintah Indonesia atas nama komunitas politik menekan komunitas budaya Cina dalam meng-exercise kebudayaannya. Kasus serupa terjadi di Amerika Serikat, sebagai komunitas politik yang tidak memberikan hak pilih dan hak sosial setara kepada komunitas budaya Afro-American sekurangnya hingga tahun 1964. Agar analisis mengenai multikulturalisme mendapat porsi yang tepat, Kymlicka mengingatkan bahwa pola hubungan minoritas-mayoritas di suatu negara tidak dilepaskan dari sejarah terbentuknya sebuah masyarakat:

Modern societies are increasingly confronted with minority groups demanding recognition of their identity, and accommodation of their cultural difference. This is often phrased as the challenge of ‘multiculturalism’ [...] There are a variety of ways in which minorities incorporated into political communities, from the conquest and colonization of previously self-governing societies to the voluntary immigration of individuals and families. These differences in the mode of incorporation affect the nature of minority groups, and the sort of relationship they desire with larger society.[16]

Menurut Kymlicka, masyarakat modern kini banyak menghadapi tuntutan dari kalangan minoritas atas keunikan budaya mereka. Dalam menyikapi tuntutan ini, komunitas politik (negara) hendaknya tidak melupakan sejarah masuknya aneka kelompok minoritas budaya ke dalam komunitas politik. Secara sejarah ada di antara mereka yang masuk karena penaklukan ataupun kolonialisasi atas wilayah yang dahulunya otonom maupun migrasi (perpindahan) sukarela suatu kelompok budaya ke dalam wilayah-wilayah yang masuk yuridiksi sebuah negara moderen. Asal-usul elemen yang mengikatkan diri di dalam sebuah komunitas politik moderen (negara) menandai kerumitas pola hubungan yang ada sekaligus mampu memberi jalan keluar bagi terciptanya hubungan antar komunitas budaya yang lebih manusiawi dan harmonis.

Guna melihat jenis multikultur di suatu komunitas politik, Kymlicka menganalisisnya lewat pola masuknya suatu komunitas budaya ke dalam komunitas politik. Variabel penentunya adalah genealogi proses suatu komunitas budaya menjadi anggota komunitas politik. Genealogi ini dibagi ke dalam dua pola, yang menurut Kymlicka (dikutip agak panjang saja):

In the first case, cultural diversity arises from the incorporation of previously self-governing, territorially concentrated cultures into a larger state. The incorporated cultures, which I call ‘national-minorities’, typically wish to maintain themselves as distict society alongside the majority culture, and demand various forms of autonomy of self-government to ensure their survival as distinct societies.

In the second case, cultural diversity arises from individual and familial immigration. Such immigrants often coalesce into loose associations which I call ‘ethnic groups’. They typically wish to integrate into larger society, and to be accepted as full member of it. While they often seek greater recognition of their etnic identity, their aim is not to become a separate and self-governing nation alongside the larger society, but to modify the institutions and laws of the mainstream society to make the more accomodating of cultural differences.[17]

Kymlicka menyebut pola pertama sebagai pola minoritas nasional dan yang kedua sebagai pola kelompok etnis. Dalam pola pertama, sebuah negara terbentuk dari budaya-budaya yang awalnya mandiri secara politik, bahkan dapat dikategorikan sebagai unit politik atau negara sendiri. Masyarakat-masyarakat politik dan budaya mandiri tersebut lalu sepakat membentuk sebuah negara yang lebih besar. Namun, kendati sudah masuk ke dalam negara yang lebih besar, mereka tetap menuntut privilese untuk mengatur diri sendiri sejauh tetap berada dalam kesepakatan politik dengan komunitas politik (negara) yang lebih besar tadi. Negara yang terbentuk lewat pola minoritas nasional disebut Kymlicka sebagai memiliki dimensi multinasional.

Dalam pola kedua, keragaman budaya muncul dari arus migrasi atau perpindahan penduduk, baik yang sifatnya sukarela maupun termobilisasi. Pendatang yang baru masuk memiliki budaya berbeda dengan budaya penduduk lokal tempat lokasi tujuan pindah. Berbeda dengan pola pertama, dalam pola kedua ini komunitas budaya beragam, ada yang berasal dari wilayah yang dahulunya merupakan komunitas politik politik otonom sebelum bergabung ke dalam negara maupun berasal dari luar wilayah yuridiksi negara yang bersangkutan. Konsep awam dalam menyebut mereka ini adalah keturuan dan pendatang. Mereka disebut keturunan jika berasal dari luar negara misalnya orang Arab, Cina, dan India. Masalah utama yang menghadapi mereka adalah kewarganegaraan dan identitas, yaitu antara loyal kepada pemerintah di mana kini mereka tinggal ataukan kepada masyarakat dan negara asal atau leluhur mereka.

Mereka disebut pendatang jika berasal dari dalam wilayah yuridiksi. Masalah kewarganegaraan dan identitas seperti dialami jenis pertama mungkin tidak dialami. Masalah utama bagi mereka justru bagaimana melakukan integrasi ke dalam masyarakat di mana budaya lokal yang mainstream bukanlah budaya mereka. Dengan kata lain, masalah pokok bagi mereka adalah bagaimana melakukan perimbangan antara melestarikan budaya mereka sendiri dengan tetap menghargai budaya dan pandangan masyarakat asli. Jumlah para pendatang ini bervariasi. Ada pendatang yang jumlahnya sedikit di suatu wilayah, tetapi ada pula yang bahkan merupakan mayoritas di wilayah tinggal non daerah basis mereka. Dalam pergaulan antar komunitas budaya mereka melakukan sejumlah asimilasi (bahasa, tatakrama). Namun, keunikan budaya mereka pun tetap ada dan berhak untuk eksis, bukan dengan tujuan separatisme politik melainkan agar karakteristik budaya mereka diakui baik oleh komunitas politik maupun komunitas budaya lain tempatnya tinggal. Negara yang terbentuk lewat pola kedua ini dinamakan Kymlicka sebagai polietnis.

Kedua pola pembentukan bangsa versi Kymlicaka hadir sekaligus di Indonesia. Untuk kategori multinasional, sebelum kolonialisme Belanda dan terbentuknya Indonesia, hampir setiap daerah dahulunya merupakan komunitas politik sekaligus komunitas budaya mandiri. Misalnya, Maluku Utara (kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo), Aceh (Samudera Pasai), Kalimantan (kerajaan Banjar), Sulawesi Selatan (kerajaan Bone, Wajo, Luwuk), Yogyakarta (Surakarta dan Yogyakarta), Banten (kesultanan Banten), Cirebon (kesultanan Cirebon), Sumatera bagian Timur (Deli, Palembang), dan banyak lagi di bagian-bagian lain. Raja, ratu, atau para sultan di masing-masing komunitas sebelum periode kolonial relatif mandiri secara politik. Mereka memiliki bahasa, adat, keyakinan, simbol, dan norma sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Dan, hingga kini pun eksistensi politik mereka relatif masih diakui di wilayah tertentu Indonesia, yang misalnya terjelma dalam konsep daerah istimewa. Dalam konteks multinasional ini, kecenderungan revivalisme nativistik sifatnya laten.

Untuk kategori polietnis Indonesia dibentuk oleh dua pola migrasi yaitu migrasi luar dan migrasi dalam. Migrasi luar terjadi tatkala etnis Arab, India, dan Cina datang dan diam di Indonesia. Kebanyakan migrasi ini sifatnya sukarela. Kendati kecil secara kuantitas, pengaruh mereka di bidang-bidang tertentu kehidupan publik Indonesia cukup besar. Imigran Arab memiliki pengaruh di bidang agama (Islam) yang ditunjukkan dengan aneka majlis ta’lim yang dipimpin seorang imigran Arab (Hadramaut) ataupun keturunannya. Imigran Cina dan India memiliki aneka perusahaan besar yang beroperasi dan menggunakan tenaga kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan regulasi serius pemerintah pusat seputar kebebasan para imigran mempraktekkan budayanya.

Migrasi dalam mengemuka dalam hubungan antaretnis dari dalam Indonesia. Seperti telah disebut, konsep awam untuk melukiskan mereka adalah pendatang. Satu atau beberapa etnis melakukan transmigrasi ke wilayah etnis lain. Misalnya etnis Jawa ke pulau-pulau luar Jawa, etnis Bugis dan Buton bermigrasi ke Halmahera, etnis Betawi bermigrasi ke Sorong, atau etnis Madura bermigrasi ke Sampit. Motivasi mereka pindah juga bervariasi, ada yang secara sukarela dan ada pula yang secara mobilisasi. Akibat migrasi, kerap terjadi social tension yang berkulminasi pada rentetan konflik (kerusuhan) etnis di Jakarta, Bandung, Solo, Kalimantan, Poso, Ambon, dan wilayah Maluku Utara. Sebab itu, dampak-dampak yang mungkin muncul akibat pola migrasi dalam dalam masyarakat Indonesia ini pun perlu diakomodasi baik oleh komunitas politik (pemerintah daerah lewat perda) maupun komunitas budaya (tokoh-tokoh adat masyarakat setempat).

Kompleksitas sistem sosial dan budaya Indonesia serta upaya kohesinya – seiring kenyataan multinasional dan polietnis – masih belum selesai pembentukannya. Problem inti yang selalu muncul berkisar pada bagaimana mencapai konsensus nasional sebagai basis perekat antarkelompok. Pancasila sebagai basis ideologi multikulturalisme Indonesia, termasuk slogan Bhinneka Tunggal Ika, belumlah cukup tanpa pemahaman dan exercise yang lebih komprehensif dari seluruh anggota komunitas politik dan komunitas budaya yang ada. Pemerintah tidak dapat melulu menggunakan tindakan bercorak coercion guna menimbulkan pemahaman dan menjamin kohesi. Perlu upaya kreatif dari pemerintah sebagai wakil komunitas politik dan masyarakat sipil yang mewakili komunitas-komunitas budaya untuk lebih memahami posisi Pancasila di dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Pasca transisi politik 1998, Indonesia semakin mengarah pada sensitivitas positif akan dimensi multinasional dan polietnis masyarakatnya. Dalam konteks polietnis kalangan imigran misalnya, di bawah administrasi Gus Dur, etnis Tionghoa memperoleh pengakuan atas sekurangnya dua komponen budayanya yaitu Hari Raya Imlek dan agama Kong Hu Cu (Konfusianisme). Etnis Arab, biasanya terlembaga ke dalam majlis-majlis ta’lim yang di masa administrasi Suharto telah beroleh pengakuan. Etnis India juga diberi hak sama dengan mendirikan gurudwara-gurudwara. Masalah lain yang belum tersentuh adalah pola hubungan polietnis yang diakibatkan faktor migrasi dalam. Bagaimana multikultural dapat berkembang harmonis antara etnis-etnis intra Indonesia.

Dalam konteks multinasional, Undang-undang Otonomi Daerah memberi keleluasaan setiap daerah untuk melakukan self-governing. Pemilihan kepala daerah langsung menjamin adanya ruang lebih besar bagi tokoh-tokoh masyarakat dan politik lokal guna menentukan bagaimana seharusnya masyarakat mereka kelola. Seperti Kymlicka nyatakan sebelumnya, genealogi fitur multinasional biasanya mengharapkan kemandirian politik relatif vis a vis pemerintah pusat. Untuk itu, Aceh diperkenankan menggunakan Qanun dan berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, Yogyakarta terus menikmati status sebagai daerah istimewa, dan wilayah-wilayah lain diperkenankan melembagakan pengajaran bahasa daerah dalam kurikulum pendidikannya. Atas dasar fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa Indonesia tengah mengarah (atau diarahkan) kepada masyarakat multikultur.

Patologi yang biasa muncul dalam masyarakat multinasional dan polietnis adalah etnophobia atau kecurigaan yang berlebihan terhadap suatu etnis. Misalnya saja di Indonesia berkembang etnophobia atas etnis Jawa yang mengendap pada suku-suku luar pulau Jawa. Ini merupakan peninggalan merusak dari konsep masyarakat majemuk zaman kolonial di mana suatu etnis disokong oleh penjajah Belanda guna mendominasi etnis lain. Pemerintah kolonial pun selalu menggunakan Jawa sebagai model pemerintahan bagi daerah luar Jawa yang mereka kuasai. Memang, secara kuantitas, Jawa merupakan etnis yang terbesar Indonesia. Namun, dominasi kuantitatifnya hanya di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa provinsi Sumatera. Selain itu, bahasa persatuan (bahasa Indonesia) bukanlah bahasa Jawa melainkan Melayu yang telah menyerap unsur-unsur Sanskerta, Arab, dan sejumlah bahasa asing lainnya (Inggris, Belanda, Portugis, atau Cina).

Masalah yang juga biasa melatarbelakangi konflik etnis dan sektarian Indonesia adalah ekonomi.[18] Konflik Poso jika hanya dianalisis secara dangkal adalah kisah perang agama. Padahal, pada esensinya bukan konflik agama melainkan konflik ketimpangan struktural-ekonomi antara masyarakat asli yang mayoritas Kristen dengan kaum pendatang yang mayoritas Islam. Kejadian serupa juga terjadi di Ambon, yang lebih diakibatkan kegamangan posisi status quo elit dan masyarakat Ambon Kristen atas peralihan politik nasional di level pusat, berupa peralihan kuda-kuda kekuasaan Soeharto dari ABRI menuju Islam modernis.

Sebagai ideologi, multikulturalisme tidaklah asing dan masih memiliki optimismenya di Indonesia. Ini mengandaikan pemerintah pusat lebih cerdas dalam memetakan karakteristik suku bangsa yang bergabung dengan Indonesia serta political will untuk melakukan budaya dialog antarbudaya serta serius melakukan pemerataan pembangunan ekonomi, yang lebih mengakomodasi komposit polietnis yang kepentingannya saling berbeda dan kadang saling bersaing. Di sinilah sesungguhnya peran vital pemerintah pusat selaku regulator politik dan penetrator ayat-ayat konstitusi ke setiap sub-sub nasional negara. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa diserahkan kepada free fight capitalism. Peran pemerintah harus mengenyahkan tata politik kolonial yang sekadar juragan tanpa kehendak baik memperhatikan karakteristik budaya dan masyarakat daerah layaknya pemerintahan kolonial menyukai konsep masyarakat majemuk.

--------------------------------
Referensi

[1] Tafsiran Furnivall oleh Nasikun dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006) h.39-40.
[2] J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice (London: Cambridge University Press, 1948) pp.303-12.
[3] Ibrahim Saad, Competing Identities in a Plural Society (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1981) p. 8.
[4] Parsudi Suparlan, Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, (Antropologi Indonesia, 66, 2001) h.2
[5] Ibid., h.5.
[6] Leo Kuper dikutip oleh Michael Banton, Racial and Ethnic Competition (New York: Cambridge University Press, 1983) p.95.
[7] Clifford Geertz seperti termuat dalam Nasikun, Sistem ..., op.cit., h.40.
[8] Pierre L. van der Berghe seperti dikutip dalam Ibid, h.40-1.
[9] Sammy Smooha, Israel, Pluralism, and Conflict (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1978) p.7.
[10] Tariq Modood, Multiculturalism: A Civic Idea (Cambridge: Polity Press, 2007) p.2
[11] Steven Bochner, Cultural Diversity Within and Between Societies: Implications for Multicultural Social Systems dalam Paul Pedersen, ed., Multiculturalism as a Fourth Force (New York: Taylor & Francis, 1999) p.19
[12] Baogang He and Will Kymlicka, eds., Multiculturalism in Asia (New York: Oxford University Press, 2005) p.2.
[13] Adam Jamrozik, The Chains of Colonial Inheritance: Searching for Identity in a Subservient Nation, (Sydney: University of New South Wales Press Ltd., 2004) p.84-5. Biculturalism Kanada karena Inggris dan Perancis adalah dua bangsa yang merupakan mayoritas di Kanada. Namun, selain kedua bangsa tersebut pun terdapat bangsa-bangsa lain layaknya di Amerika Serikat.
[14] Chandran Kukanthas, Nationalism and Multiculturalism dalam Gerald F. Gaus and Chandran Kukanthas, Handbook of Political Theory (London: SAGE Publications Ltd, 2004) pp.251-2.
[15] Will Kymlicka seperti dikutip dalam Colin Farrelly, ed., Contemporary Political Theory: A Reader (London: SAGE Publications Ltd, 2004) p.263
[16] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights (New York: Oxford University Press, 1995) p.10.
[17] Will Kymlicka, Multicultural ..., op.cit., pp.10-1.
[18] John R. Bowen, Normative Pluralism in Indonesia: Regions, Religions, and Ethnicities dalam Baogang He and Will Kymlicka, Multiculturalism in ..., op.cit., p.158.

tags:
pengertian masyarakat majemuk indonesia pengertian multikultural indonesia adalah masyarakat majemuk pengertian masyarakat majemuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar