Selasa, 10 Januari 2012

Menikam Protokol Kyoto di Durban

TEMPO.CO, Jakarta - Sejak siang, hujan lebat mengguyur Kota Durban di Afrika Selatan. Hingga Ahad malam pekan lalu (27 November), hujan tersebut belum selesai menuntaskan tugasnya di kota tepi laut yang berpenduduk 3,5 juta jiwa itu.

Qodeni Ximba baru beranjak tidur ketika tiba-tiba dinding rumahnya dihantam banjir bandang. Perempuan berusia 17 tahun itu tewas bersama 10 penduduk Durban lainnya. Korban lain adalah bayi dan kedua orang tuanya yang tengah tidur lelap.

"Apakah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Durban dapat mencegah kematian Ximba dan lainnya?" tanya Amy Goodman dalam tulisannya di Guardian. Pada artikel berjudul “Mengapa Durban Menjadi Kesempatan Terakhir Protokol Kyoto”, dia mengutip informasi naiknya curah hujan di Durban dua kali lipat sepanjang November.

Sehari setelah tragedi banjir itu, Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), membuka konferensi di Albert Inkosi Luthuli International Convention Centre, Durban. Pertemuan Iklim tahunan yang dihadiri menteri lingkungan dan negosiator dari 195 negara bakal berlangsung sampai 9 Desember.

Dalam pidato pembukaannya, Figueres menjelaskan bahwa Durban harus bisa menangkap momentum global untuk perubahan iklim. Edna Molewa, Menteri Lingkungan dan Ketua Delegasi Afrika Selatan menjanjikan bahwa Durban membawa harapan dan aspirasi Afrika serta negara berkembang. "Untuk berhasil dalam menjaga Protokol Kyoto sebagai bagian dari rezim iklim di masa depan."

Protokol Kyoto merupakan hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Kyoto, Jepang, pada
1997. Kesepakatan ini mewajibkan negara maju yang disebut Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 5,2 persen dari level 1990, sehingga suhu bumi tidak naik lebih dari 2 derajat Celsius.
Amerika Serikat akhirnya menolak meratifikasi Protokol Kyoto, sedangkan Cina, India, dan Brasil ketika itu masih menjadi negara berkembang yang belum maju perekonomiannya. Meski demikian, protokol ini menjadi dasar hukum program-program mitigasi dan perdagangan karbon.

Komitmen periode pertama Protokol Kyoto akan berakhir pada Desember 2012. Namun hingga Konferensi Iklim di Cancun, Meksiko, tahun lalu, belum ada kesepakatan baru mengenai nasib Protokol Kyoto. Pada Konferensi Iklim di Durban tanda-tanda kematian Protokol Kyoto mulai kelihatan sejak awal.

"Kyoto adalah masa lalu," kata Menteri Lingkungan Hidup Kanada, Peter Kent, sehari menjelang Konferensi Durban. Sikap Kanada ini mengikuti jejak Rusia dan Jepang, yang sama-sama meratifikasi Protokol Kyoto. Tiga negara ini ogah membuat komitmen jika pengemisi besar lainnya, yaitu Amerika Serikat dan Cina, tidak ikut serta.

Padahal Amerika Serikat tidak melirik aturan yang mengikat. "Kyoto tidak ada di atas meja kami," ujar Todd Stern, kepala negosiator Amerika Serikat. Amerika Serikat akan menuntut bahwa setiap komitmen jangka panjang, ujarnya, berlaku untuk semua negara signifikan.

Cina dan India menolak tuntutan tersebut. Keduanya menjelaskan, emisi per kapita-nya jauh lebih rendah ketimbang Amerika Serikat. Mereka menghendaki negara-negara Annex I mewujudkan janjinya memotong emisi sesuai dengan target yang ditetapkan.

Bagaimana nasib Protokol Kyoto di Durban? "Sama seperti Julius Caesar yang tewas ditikam orang-orang dekatnya," kata John Vidal, wartawan Guardian. Dia khawatir sejumlah negara miskin diam-diam bergabung dengan negara kaya setelah mendapat iming-iming. Sedangkan Cina dan India tidak ingin diikat dengan kewajiban ketat.

Memasuki pekan kedua, para menteri lingkungan hidup mulai berdatangan di Durban. Menghadapi kebuntuan negosiasi, muncul wacana melakukan gerakan Occupy Durban oleh sejumlah diplomat negara berkembang. Mereka tergerak dengan seruan mantan Presiden Kosta Rika untuk meninggalkan ruang sidang sampai pembicaraan substansial tercapai.

------------------------------
" Alam dan Adat Bicara "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar